Rabu, 17 Desember 2014

DIET HIPERTENSI PADA LANSIA

 BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1   Perilaku
2.1.1  Definisi Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan, oleh sebab itu dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. (Notoadmodjo, 2012).

2.1.2 Perilaku Menurut Skinner
Perilaku menurut Skinner merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus, yang dibedakan menjadi dua:
1.        Perilaku tertutup (covert behaviour),  apabila respons tersebut terjadi dalam diri sendiri, dan sulit diamati dari luar (orang lain) yang disebut dengan pengetahuan (knowledge) dan sikap (attitude).
2.        Perilaku Terbuka (Overt behaviour), apabila respons tersebut dalam bentuk tindakan yang dapat diamati dari luar (orang lain) yang disebut praktek (practice)
Perilaku adalah kegiatan  atau aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka pemenuhan keinginan, kehendak, kebutuhan, nafsu, dan sebagainya. Kegiatan ini mencakup :
1.    Kegiatan kognitif: pengamatan, perhatian, berfikir yang disebut Pengetahuan
2.    Kegiatan emosi: merasakan, menilai yang disebut Sikap (afeksi)
3.    Kegiatan  konasi: keinginan, kehendak   yang disebut tindakan (practice)
Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme)terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Dalam konteks pelayanan kesehatan, perilaku kesehatan dibagi menjadi dua: Perilaku masyarakat yang dilayani atau menerima pelayanan (consumer),  dan perilaku pemberi pelayanan atau petugas kesehatan yang melayani (provider) (Notoatmodjo, Soekidjo. 2003).

2.1.3  Dimensi Perilaku
Dimensi perilaku kesehatan dibagi menjadi dua:
1.    Healthy Behavior yaitu perilaku orang sehat  untuk mencegah  penyakit dan meningkatkan kesehatan. Disebut juga perilaku preventif (Tindakan atau upaya  untuk mencegah dari sakit dan masalah kesehatan yang lain: kecelakaan) dan promotif (Tindakan atau kegiatan untuk memelihara dan meningkatkannya kesehatannya)
contoh: Makan dengan gizi seimbang, Olah raga/kegiatan fisik secara teratur, Tidak mengkonsumsi  makanan/minuman yang mengandung zat  adiktif , Istirahat cukup, dan rekreasi /mengendalikan stress.
2.    Health Seeking Behavior yaitu perilaku orang sakit untuk memperoleh kesembuhan  dan pemulihan kesehatannya. Disebut juga perilaku kuratif dan rehabilitative yang mencakup kegiatan: Mengenali gejala penyakit , Upaya memperoleh kesembuhan dan pemulihan yaitu dengan mengobati sendiri atau mencari pelayanan (tradisional, profesional), Patuh terhadap proses penyembuhan dan pemulihan (complientce) atau kepatuhan. Pengukuran perilaku kesehatan dilakukan pada ketiga  domain perilaku kesehatan yaitu: Pengetahuan, Sikap & Tindakan :
Pengetahuan, yaitu apa yang diketahui oleh responden terkait dengan kesehatan, misalnya        tentang penyakit (penyebab, cara penularan, cara pencegahan), gizi, sanitasi, pelayanan kesehatan,     dan sebagainya.
Pengukuran pengetahuan bersifat memory recall (apa yang diingat oleh responden tentang pesan-pesan atau informasi kesehatan, bukan apa pendapat responden. Namun demikian apa yang diingat atau diketahui oleh responden sulit dibedakan dengan pendapat responden.
Metode penelitian dan pengukuran pengetahuan dibedakan menjadi:
1.    Kuantitatif, terdiri dari: wawancara terstruktur dan angket.
2.    Kualitatif, terdiri dari: Wawancara terbuka (mendalam) dan diskusi Kelompok Terfokus (DKT).

Sikap, yaitu apa pendapat atau penilaian responden terhadap hal yang terkait dengan kesehatan. Pengukuran sikap dirumuskan dalam bentuk pernyataan. Pernyataan haruslah sependek mungkin, kurang lebih dua puluh kata. Bahasa yang digunakan juga sederhana dan jelas. Tiap satu pernyataan hanya memiliki satu pemikiran saja. Tidak menggunakan negatif rangkap. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan:
1.    Sikap merupakan tingkatan afeksi yang positif atau negatif  yang  dihubungkan  dengan  obyek (Thurstone).
2.    Sikap dilihat dari individu yang menghubungkan efek yang  positif dengan obyek (individu menyenangi obyek atau negatif  atau tidak menyenangi obyek. (Edward)
3.    Sikap merupakan penilaian dan atau pendapat individu terhadap obyek meliputi setuju - tak setuju, baik - tak baik, menerima - tak menerima, dan senang - tak senang.

               Pendapat atau penilaian dinyatakan dalam bentuk pernyataan menggunakan  skala Likert, misalnya: Sangat setuju - sangat tak setuju, baik sekali - sangat tidak baik, dan sangat menerima - sangat menolak. Metode pengukuran sikap dilakukan dengan cara wawancara, angket, dan praktek (tindakan)
Pengukuran praktek (tindakan) adalah mengukur praktek, tindakan, atau kegiatan yang dilakukan oleh responden tentang hal-hal yang terkait dengan pemeliharaan atau peningkatan kesehatannya, misalnya:
                  1.     Makan, minum, mandi, buang air besar
                  2.     Berolah raga
                  3.     Upaya-upaya mencegah penyakit
                  4.     Mencari penyembuhan waktu sakit, dan sebagainya.

Pengukuran praktek (tindakan) dilakukan dengan metode:
1.    Langsung , dengan observasi atau mengamati terhadap perilaku sasaran (responden), dengan menggunakan lembar tilik (check list)
2.    Tidak langsung
a.    Metode recall atau mengingat kembali terhadap apa yang telah dilakukan responden.
b.    Melalui orang ketiga (orang) lain yang dekat dengan responden yang ditelitii.
c.    Melalui indikator (hasil perilaku) responden, perilaku personal hygiene diukur dari kebersihan kuku, rambut, kulit, dan sebagainya.
1.2       Keluarga
1.2.1     Definisi Keluarga
Menurut Friedman (1998) dalam Sudiharto 2007, definisi keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena ikatan tertentu untuk saling membagi pengalaman dan melakukan pendekatan emosional, serta mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga. WHO (1969) menyatakan bahwa, keluarga merupakan anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian darah, adopsi atau perkawinan. Menurut UU No.10 tahun 1992 menyatakan bahwa, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anaknya (Setiadi, 2008).

Keluarga adalah bagian dari masyarakat yang peranannya sangat penting untuk membentuk kebudayaan yang sehat. Dari keluarga ini lah pendidikan kepada individu dimulai dan dari keluarga inilah akan tercipta tatanan masyarakat yang baik, sehingga untuk membangun suatu kebudayaan maka sepantasnya dimulai dari keluarga. Keluarga dijadikan sebagai unit pelayanan karena masalah kesehatan keluarga saling berkaitan dan saling mempengaruhi antara sesama anggota keluarga dan akan mempengaruhi pula keluarga-keluarga yang ada disekitarnya atau masyarakat disekitarnya atau dalam konteks luas berpengaruh terhadap Negara (Setiadi, 2008).

1.2.2                             Bentuk - Bentuk Keluarga
Beberapa bentuk keluarga adalah sebagai berikut: (Sudiharto, 2007)
1.    Keluarga inti (nuclear family)
     Keluarga yang dibentuk karena ikatan perkawinan yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak, baik karena kelahiran (natural) maupun adopsi.
2.    Keluarga asal (family of origin)
Suatu unit keluarga tempat asal seseorang dilahirkan.
3.    Keluarga besar (Extended family)
Keluarga inti ditambah dengan sanak saudara, nenek, kakek, keponakan, sepupu, bibi, paman dan sebagainya.
4.    Keluarga berantai (social family)
Keluarga yang terdiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan suatu keluarga inti.
5.    Keluarga duda atau janda
Keluarga yang terbentuk karena percereain atau kematian pasangan yang dicintai.
6.    Keluarga komposit (composite family)
Keluarga dari perkawinan poligami dan hidup bersama.
7.    Keluarga kohabitasi (cohabitation)
Dua orang menjadi satu keluarga tanpa pernikahan, bisa memiliki anak atau tidak.
8.    Keluarga inses (incest family)
Keluarga yang tidak lazim (pekawinan sedarah), misalnya anak perempuan menikah dengan ayah kandungnya, ibu menikah dengan anak kandung laki-laki, dan ayah yang menikah dengan anak perempuan tirinya.
9.    Keluarga tradisional dan nontradisional
Keluarga yang dibedakan berdasarkan ikatan perkawinan. Keluarga tradisional diikat oleh perkawinan, sedangkan keluarga nontradisional tidak diikat oleh perkawinan.

1.2.3     Fungsi Keluarga
Dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi keluarga yang dapat dijalankan yaitu sebagai berikut :
1.    Fungsi biologis adalah fungsi untuk meneruskan keturunan, memelihara, dan membesarkan anak, serta memenuhi kebutuhan gizi keluarga (Mubarak, dkk 2009).
2.    Fungsi psikologis adalah memberikan kasih sayang dan rasa aman bagi keluarga, memberikan perhatian diantara keluarga, memberikan kedewasaan kepribadian anggota keluarga, serta memberikan identitas pada keluarga (Mubarak, dkk 2009).
3.    Fungsi sosialisasi adalah membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan masing-masing dan meneruskan nilai-nilai budaya (Mubarak, dkk 2009). Fungsi sosialisasi adalah fungsi yang mengembagkan proses interaksi dalam keluarga yang dimulai sejak lahir dan keluarga merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi (Setiawati, 2008).
4.    Fungsi ekonomi adalah mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga saat ini dan menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga dimana yang akan datang (Mubarak, dkk 2009).
Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga termasuk sandang, pangan dan papan (Setiawati, 2008).
5.    Fungsi pendidikan adalah menyekolahkan anak untuk memberikaan pengetahuan, keterampilan, membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa serta mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembanganya (Mubarak, dkk 2009).

1.2.4     Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan
Menurut Mubarak, dkk (2009), keluarga dapat melaksanakan perawatan atau pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas kesehatan keluarga, yaitu sebagai berikut :
1.    Mengenal masalah kesehatan keluarga
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan. Karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti. Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialami oleh anggota keluarganya. Perubahan sekecil apa pun yang dialami anggota keluarga, secara tidak langsung akan menjadi perhatian keluarga atau orang tua. Apabila menyadari adanya perubahan, keluarga perlu mencatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi, dan seberapa besar perubahanya.

2.    Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat
Tugas ini merupakan upaya utama keluarga untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan di antara anggota keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan sebuah tindakan. Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan yang sedang terjadi dapat dikurangi atau teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan dalam mengambil keputusan, maka keluarga dapat meminta bantuan kepada orang lain di lingkungan tempat tinggalnya.

3.    Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit
Sering kali keluarga mengambil tindakan yang tepat, tetapi jika keluarga masih merasa mengalami keterbatasan, maka anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan atau perawatan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi. Perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan atau di rumah apabila keluarga telah memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama.

4.    Mempertahankan suasana rumah yang sehat
Rumah merupakan tempat berteduh, berlindung, dan bersosialisasi bagi anggota keluarga. Sehingga anggota keluarga akan memiliki waktu yang lebih banyak berhubungan dengan lingkungan tempat tinggal. Oleh karena itu, kondisi rumah harus dapat menunjang derajat kesehatan bagi anggo       ta keluarga.

             2.          Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat
Apabila mengalami gangguan atau masalah yang berkaitan dengan kesehatan keluarga atau anggota keluarga harus dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada disekitarnya. Keluarga dapat berkonsultasi atau meminta bantuan tenaga keperawatan untuk memecahkan masalah yang dialami anggota keluarganya, sehingga keluarga dapat bebas dari segala macam penyakit.

1.2.5     Peran Keluarga
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran merujuk kepada beberapa set perilaku yang kurang lebih bersifat homogen, yang didefinisikan dan diharapkan secara normatif dari seseorang peran dalam situasi sosial tertentu (Mubarak,dkk. 2009).

Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh seseorang dalam konteks keluarga. Jadi peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat (Setiadi, 2008).

Menurut Setiadi (2008), setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing. Peran ayah yang sebagai pemimpin keluarga yang mempunyai peran sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung atau pengayom, pemberi rasa aman bagi setiap anggota keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu. Peran ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anak, pelindung keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu. Sedangkan peran anak sebagai pelau psikososial sesuai dengan perkembangan fisik, mental, sosial dan spiritual. Menurut Mubarak, dkk (2009), terdapat dua peran yang mempengaruhi keluarga yaitu peran formal dan peran informal.
1.    Peran Formal
Peran formal keluarga adalah peran-peran keluarga terkait sejumlah perilaku yang kurang lebih bersifat homogen. Keluarga membagi peran secara merata kepada para anggotanya seperti cara masyarakat membagi peran-perannya menurut pentingnya pelaksanaan peran bagi berfungsinya suatu sistem. Peran dasar yang membentuk posisi sosial sebagai suami-ayah dan istri-ibu antara lain sebagai provider atau penyedia, pengatur rumah tangga perawat anak baik sehat maupun sakit, sosialisasi anak, rekreasi, memelihara hubungan keluarga paternal dan maternal, peran terpeutik (memenuhi kebutuhan afektif dari pasangan), dan peran sosial.

2.    Peran Informal kelurga
Peran-peran informal bersifat implisit, biasanya tidak tampak, hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional individu atau untuk menjaga keseimbangan dalam keluarga. Peran adapif antara lain :
a.    Pendorong memiliki arti bahwa dalam keluarga terjadi kegiatan mendorong, memuji, dan menerima kontribusi dari orang lain. Sehingga ia dapat merangkul orang lain dan membuat mereka merasa bahwa pemikiran mereka penting dan bernilai untuk di dengarkan.
b.    Pengharmonisan yaitu berperan menengahi perbedaan yang terdapat diantara para anggota, penghibur, dan menyatukan kembali perbedaan pendapat.
c.    Inisiator-kontributor yang mengemukakan dan mengajukan ide-ide baru atau cara-cara mengingat masalah-masalah atau tujuan-tujuan kelompok.
d.   Pendamai berarti jika terjadi konflik dalam keluarga maka konflik dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah atau damai.
e.    Pencari nafkah yaitu peran yang dijalankan oleh orang tua dalam memenuhi kebutuhan, baik material maupun non material anggota keluarganya.
f.     Perawaatan keluarga adalah peran yang dijalankan terkait merawat anggota keluarga jika ada yang sakit.
g.    Penghubung keluarga adalah penghubung, biasanya ibu mengirim dan memonitori kemunikasi dalam keluarga.
h.    Poinir keluarga adalah membawa keluarga pindah ke satu wilayah asing mendapat pengalaman baru.
i.      Sahabat, penghibur, dan koordinator yang berarti mengorganisasi dan merencanakan kegiatan-kegiatan keluarga yang berfungsi mengangkat keakraban dan memerangi kepedihan.
j.      Pengikut dan sanksi, kecuali dalam beberapa hal, sanksi lebih pasif. Sanksi hanya mengamati dan tidak melibatkan dirinya.
1.3       Lansia
1.3.1     Pengertian Lansia
Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial (UU No23 Tahun 1992 tentang kesehata).Pengertian dan pengelolaan lansia menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun1998 tentang lansia sebagai berikut :
1.    Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas.
2.    Lansia usia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
3.    Lansia tak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya tergantung pada bantuan orang lain.

2.3.2  Batasan Lansia
1. Pra Usia Lanjut (presenilis)
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2. Usia lanjut
Seorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Usia lanjut adalah tahap perkembangan masa tua dalam perkembangan individu (usia 60 tahun keatas). Sedangkan lanjut usia adalah sudah berumur atau tua.
3.Usia Lanjut Resiko Tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
4.    Usia Lanjut Potensial
Usia lanjur yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa.
5.    Usia Lanjut Tidak Potensial
Usia lanjut yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

1.3.2     Pengertian Proses Menua
Proses menua merupakan suatu proses biologis yang tidak dapat dihindarkan, yang akan dialami oleh setiap orang. Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan (gradual) kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan struktur dan fungsi secara normal, ketahanan terhadap injury termasuk adanya infeksi. (Paris Constantinides, 1994).

1.3.3     Teori-teori Proses Penuaan
1.    Teori Biologis
Penuaan juga menyangkut perubahan struktur sel, akibat interaksi sel dengan lingkungannya, yang pada akhirnya menimbulkan perubahan generatif. (Mary ANN Christ et al, 1993). Sedangkan teori biologis tentang penuaan dapat dibagi menjadi teori intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik berarti perubahan yang berkaitan dengan usia timbul akibat penyebab di dalam sel sendiri, sedang teori ekstrinsik menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi diakibatkan pengaruh lingkungan.
Teori biologis dibagi dalam :
a.    Teori Genetik Clock
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies-spesies tertentu. Tiap spesies mempunyai di dalam inti selnya suatu jam genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi tertentu. Jadi menurut konsep ini bila jam kita ini berhenti kita akan meninggal dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit.
b.      Teori Error Catastrophe (Teori Mutasi Somatik)
Menurut teori ini, menua disebabkan kesalahan yang beruntun dalam jangka waktu yang lama dalam transkripsi dan translasi. Kesalahan tersebut menyebabkan terbentuknya enzim yang salah dan berakibat metabolisme yang salah sehingga mengurangi fungsional sel, walaupun dalam batas-batas tertentu kesalahan dalam pembentukan RNA dapat diperbaiki, namun kemampuan memperbaiki diri terbatas pada transkripsi yang tentu akan menyebabkan kesalahan sintesis protein atau enzim yang dapat menimbulkan metabolit berbahaya. Bila terjadi kesalahan pada translasi maka kesalahan yang terjadi juga semakin banyak.
c.       Teori Auto Imune
Dalam teori ini dijelaskan bahwa, di dalam proses metabolism tubuh, suatu saat diproduksi zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Sebagai contoh ialah tambahan kelenjar timus yang pada usia dewasa berinvolusi dan semenjak itu terjadilah kelainan autoimun. (Godteris & Brocklehurst, 1989)
d.   Teori Radikal Bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyababkan sel-sel tidak dapat beregenarasi. Di dalam tubuh yang bersiap merusak, dapat dinetralkan dalam tubuh oleh enzim atau senyawa non enzim contohnya adalah : vitamin C betakarotin, vitamin E.

2.    Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)
          Sistem imun menjadi kurang efektif dengan berambahnya usia dan masuknya virus kedalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
a.    Teori Stres
            Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
b.    Teori Rantai silang
            Sel-sel yang tua atau using, reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan elastis, kekakuan dan hilangnya fungsi.
c.    Teori Program
            Kemampuan orgasme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah setelah sel-sel tersebut mati.

3.    Teori Kejiwaan Sosial
a.    Aktivitas atau kegiatan
1)   Teori aktivitas, menurut Havighusrst dan Albrecht, 1953 berpendapat bahwa sangat penting bagi individu usia lanjut untuk tetap aktifitas dan mencapai kepuasan hidup.
2)   Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
3)   Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia.
4)   Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.
b.    Kepribadian berlanjut (continuity theory)
            Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.
c. Teori pembebasan (disengagement theory)
            Salah satu teori sosial yang berkenaan dengan proses penuaan adalah “teori pembebasan atau Disengagement theory”. Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lansia menurun, baik secara kuantitas maupun kualitas sehingga sering terjadi kehilangan ganda (Tripple Loss), yakni ;
1)   Kehilangan peran (Loss of role)
2)   Hambatan kontak sosial (restraction of contact and relation ships)
3)   Berkurangnya komitmen (to social mores and values).

4.    Teori Psikologi
          Teori-teori psikologi dipengaruhi juga oleh biologi dan sosiologi salah satu teori yang ada. Teori tugas perkembangan, menurut Hanghurst (1972) setiap individu harus memperhatikan tugas perkembangan yang spesifik pada tiap tahap kehidupan yang akan memberikan perasaan bahagia dan sukses.
5.    Teori Kesalahan Genetik
          Dari Afgel berpendapat bahwa proses menjadi tua ditentukan oleh kesalahan sel genetik DNA dimana sel genetik memperbanyak diri (ada yang memperbanyak diri sebelum pembelahan sel) sehingga mengakibatkan kesalahan-kesalahan yang berakibat pula dengan terhambatnya pembentukan sel berikutnya sehingga mengakibatkan kematian sel. Pada saat sel mengalami kematian orang akan tampak menjadi tua.



1.3.4                             Perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses penuaan
              Akibat perkembangan usia, lanjut usia mengalami perubahan-perubahan yang menuntut dirinya untuk menyesuaikan diri secara terus-menerus. Apabila proses penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang berhasil maka timbulah berbagai masalah. Hurlock (1979) seperti dikutip oleh Munandar Ashar Sunyoto (1994) menyebutkan masalah-masalah yang menyertai lansia yaitu :
1.    Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain.
2.    Ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam pola hidupnya.
3.    Membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah meninggal atau pindah.
4.    Mengembangkan aktifitas baru untuk mengisi waktu luang yang bertambah banyak dan,
5.    Belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa.
6.    Berkaitan dengan perubahan fisik, Hurlock mengemukakan bahwa perubahan fisik yang mendasar adalah perubahan gerak.

1.4       Hipertensi
1.4.1     Pengertian Hipertensi
Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah, terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya (Sustrani, 2006).

Hipertensi atau darah tinggi adalah penyakit kelainan jantung dan pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah. WHO (World Health Organization) memberikan batasan tekanan darah normal adalah 140/90 mmHg, dan tekanan darah sama atau diatas 160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Batasan ini tidak membedakan antara usia dan jenis kelamin (Marliani, 2007).

Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Rohaendi, 2008).

1.4.2   Etiologi
Menurut Sutanto (2009), penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan – perubahan pada :
1.    Elastisitas dinding aorta menurun
2.    Katub jantung menebal dan menjadi kaku
3.    Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
4.    Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karenakurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
5.    Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya. Yang kedua hipertensi sekunder, disebabkan kelainan ginjal dan kelainan kelenjar tiroid. Yang banyak terjadi adalah hipertensi primer, sekitar 92-94% dari kasus hipertensi. Dengan kata lain, sebagian besar hipertensi tidak dapat dipastikan penyebabnya (Marliani, 2007).

1.4.3     Jenis Hipertensi
Hipertensi dapat didiagnosa sebagai penyakit yang berdiri sendiri, tetapi lebih ser  ing dijumpai terkait dengan penyakit lain, misalnya obesitas, dan diabetes melitus. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu:
1.    Hipertensi esensial atau hipertensi primer
Yaitu hipertensi yang tidak diketahui  penyebabnya (Gunawan, 2001). Sebanyak 90-95 persen kasus hipertensi yang terjadi tidak diketahui dengan pasti apa penyebabnya. Para pakar menunjuk stress sebagai tuduhan utama, setelah itu banyak faktor lain yang mempengaruhi, dan para pakar juga menemukan hubungan antara riwayat keluarga penderita hipertensi (genetik) dengan resiko untuk juga menderita penyakit ini. Faktor- faktor lain yang dapat dimasukkan dalam daftar penyebab hipertensi jenis ini adalah lingkungan,dan faktor yang meningkatkan resikonya seperti obesitas, konsumsi alkohol, dan  merokok.
2.    Hipertensi renal atau hipertensi sekunder
Yaitu hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain (Gunawan, 2001). Pada 5-10 persen kasus sisanya, penyebab spesifiknya sudah diketahui, yaitu gangguan hormonal, penyakit jantung, diabetes, ginjal, penyakit pembuluh darah atau berhubungan dengan kehamilan. Garam dapur akan memperburuk hipertensi, tapi bukan faktor penyebab.

2.4.4     Patofisiologi
Mekanisme  yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.

Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan struktural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Rohaendi, 2008).

2.4.5  Klasifikasi Hipertensi
1.  Klasifikasi hipertensi menurut WHO (World Health Organization) dalam Junaidi (2010)
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi
Kategori
Tekanan sistolik (mmHg)
Tekanan diastolic (mmHg)
Tensi optimal
< 120
< 80
Tensi normal
< 130
< 85
Kategori
Tekanan sistolik (mmHg)
Tekanan diastolic (mmHg)
Tensi normal tinggi
130 – 139
85 – 89
Tingkat 1 : Hipertensi ringan
140 – 159
90 - 99
Subgroup : batas
140 – 149
90 - 94
Tingkat 2 : Hipertensi sedang
160 – 179
100 - 109
Tingkat 3 : Hipertensi berat
180 – 209
110 - 119
Hipertensi sistolik isolasi
≥ 140
< 90
Subgroup : batas
140 – 149
< 90
Tingkat 4 : hipertensi maligna
≥ 210
≥ 210
             
              Sumber : WHO (World Health Organization) dalam Junaidi (2010)

2.4.5        Klasifikasi Hipertensi menurut Joint National Committee 7 dalam Kuswardhani (2007) adalah :
Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi
Kategori
Sistol (mmHg)
Dan/atau
Diastole (mmHg)
Normal
< 120
Dan
< 180
Pre hipertensi
120 – 139
Atau
80 – 89
Hipertensi tahap 1
140 – 159
Atau
90 – 99
Hipertensi tahap 2
≥ 160
Atau
≥ 100

              Sumber : Joint National Committee 7 dalam Kuswardhani (2007)

2.4.6      Gejala Hipertensi
               Hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena hipertensi tidak memiliki gejala khusus. Menurut  Sutanto (2009), gejala-gejala yang mudah diamati antara lain yaitu : Gejala ringan seperti pusing atau sakit kepala, sering gelisah, wajah merah, tengkuk terasa pegal, mudah marah, telinga berdengung, sukar tidur, sesak napas, dan mudah lelah.

2.4.7                                      Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Hipertensi
                   Menurut Elsanti (2009), faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi  yang dapat atau tidak dapat dikontrol, antara lain:
1.    Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dikontrol:
a.    Jenis kelamin
     Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause.  Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah penderita hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar 56,5%. (Anggraini dkk, 2009). Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause (Marliani, 2007).

b.    Umur
                 Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang yang berusia lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani secara khusus. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada kebanyakan kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. Pada wanita, hipertensi sering terjadi pada usia diatas 50 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah menopause.

     Menurut Hanns Peter (2009), mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 % diatas umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitas atau kelenturan serta tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Peningkatan kasus hipertensi akan berkembang pada umur lima puluhan dan enampuluhan. Dengan bertambahnya umur, dapat meningkatkan risiko hipertensi

c.    Keturunan (Genetik)
     Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu  akan menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi.  Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga (Anggraini dkk, 2009). Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi (Marliani, 2007).

     Menurut Rohaendi (2008), mengatakan bahwa Tekanan darah tinggi cenderung diwariskan dalam keluarganya. Jika salah seorang dari orang tua anda ada yang mengidap tekanan darah tinggi, maka anda akan mempunyai peluang sebesar 25% untuk mewarisinya selama hidup anda. Jika kedua orang tua mempunyai tekanan darah tingi maka peluang anda untuk terkena penyakit ini akan meningkat menjadi 60%.
2.    Faktor Resiko Yang Dapat Dikontrol:
a.    Obesitas
  Pada usia pertengahan (+ 50 tahun) dan dewasa lanjut asupan kalori sehingga mengimbangi penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat badan meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia karena dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh darah, hipertensi (Rohendi, 2008).

Untuk mengetahui seseorang mengalami obesitas atau tidak, dapatdilakukan dengan mengukur berat badan dengan tinggi badan, yang kemudian disebut dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:
IMT berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan lebih.
Obesitas beresiko terhadap munculnya berbagai penyakit jantung dan pembuluh darah. Disebut obesitas apabila melebihi Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT). BMI untuk orang Indonesia adalah 25. BMI memberikan gambaran tentang resiko kesehatan yang berhubungan dengan berat badan. Marliani juga mengemukakan bahwa penderita hipertensi sebagian besar mempunyai berat badan berlebih, tetapi tidak menutup kemungkinan orang yang berat badanya normal (tidak obesitas) dapat menderita hipertensi. Curah jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan berat badannya normal. (Marliani,2007).

b.    Kurang olahraga
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu. Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak arteri. Latihan fisik berupa berjalan kaki selama 30-60 menit setiap hari sangat bermanfaat untuk menjaga jantung dan peredaran darah. Bagi penderita tekanan darah tinggi, jantung atau masalah pada peredaran darah, sebaiknya tidak menggunakan beban waktu jalan. Riset di Oregon Health Science kelompok laki-laki dengan wanita yang kurang aktivitas fisik dengan kelompok yang beraktifitas fisik dapat menurunkan sekitar 6,5% kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) faktor penting penyebab pergeseran arteri (Rohaendi, 2008).

c.    Kebiasaan Merokok
      Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis. Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari Brigmans and Women’s Hospital, Massachussetts terhadap 28.236 subyek yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti dan dalam median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari (Rahyani, 2007).

d.   Mengkonsumsi garam berlebih
    Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar yodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram yodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi. (Wolff, 2008).

e.    Minum alkohol
        Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung dan organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol berlebihan termasuk salah satu  faktor resiko hipertensi (Marliani, 2007).

f.     Minum kopi
           Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi mengandung 75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut berpotensi meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.
g.    Stress
          Hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Rohaendi, 2003). Menurut Anggraini dkk, (2009) menagatakan Stress akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Adapun stress ini dapat berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal

2.4.8     Komplikasi Hipertensi
          Menurut Sustrani (2006), membiarkan hipertensi membiarkan jantung bekerja lebih keras dan membiarkan proses perusakan dinding pembuluh darah berlangsung dengan lebih cepat. Hipertensi meningkatkan resiko penyakit jantung dua kali dan meningkatkan resiko stroke delapan kali dibanding dengan orang yang tidak mengalami hipertensi.
      Hipertensi juga menyebabkan terjadinya payah jantung, gangguan pada ginjal dan kebutaan. Penelitian juga menunjukkan bahwa hipertensi dapat mengecilkan volume otak, sehingga mengakibatkan penurunan fungsi kognitif dan intelektual dan yang paling parah adalah efek jangka panjangnya yaitu kematian mendadak.
1.    Penyakit jantung koroner dan arteri
Ketika usia bertambah lanjut, seluruh pembuluh darah di tubuh akan semakin mengeras, terutama di jantung, otak dan ginjal. Hipertensi sering diasosiasikan dengan kondisi arteri yang mengeras ini.
2.    Payah jantung
Payah jantung (Congestive heart failure) adalah kondisi dimana jantung tidak mampu lagi memompa darah yang dibutuhkan tubuh. Kondisi ini terjadi karena kerusakan otot jantung atau system listrik jantung.
3.    Stroke
Hipertensi adalah faktor penyebab utama terjadinya stroke, karena tekanan darah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pembuluh darah yang sudah lemah menjadi pecah. Bila hal ini terjadi pada pembuluh darah di otak, maka terjadi perdarahan otak yang dapat berakibat kematian. Stroke juga dapat terjadi akibat sumbatan dari gumpalan darah yang macet di pembuluh yang sudah menyempit.

4.    Kerusakan ginjal
Hipertensi dapat menyempitkan dan menebalkan aliran darah yang menuju ginjal, yang berfungsi sebagai penyaring kotoran tubuh. Dengan adanya gangguan tersebut, ginjal menyaring lebih sedikit cairan dan membuangnya kembali kedarah. Gagal ginjal dapat terjadi dan diperlukan cangkok ginjal baru.
5.    Kerusakan penglihatan
Hipertensi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di mata, sehingga mengakibatkan mata menjadi kabur atau kebutaan.

2.5       Diet Hipertensi
         Diet hipertensi merupakan pengurangan konsumsi natrium, tinggi serat, kolesterol, agar penurunan tekanan darah lebih optimal. Yang dimaksud diet ini adalah memperbanyak konsumsi buah-buahan, sayuran, biji-bijian, dan produk susu rendah lemak untuk menurunkan tekanan darah. Makanan yang dikonsumsi pun lebih kaya serat dan mineral yang bermanfaat untuk menurunkan tekanan darah (kalium, magnesium, dan kalsium). Kalium bekerja mengatur keseimbangan jumlah natrium dalm sel. Kalsium dan magnesium bermanfaat secara tidak langsung untuk membantu mengendalikan hipertensi (Budi Sutomo, 2009). Gizi atau nutrisi dikenal masyarakat umum sebagai suatu ilmu yang berkecimpung dalam hal masalah atau makanan, padahal sebenarnya gizi bukan hanya sekedar mengatasi perihal makanan namun hubungan antara makanan dengan kesehatan (Gunawan A, 2001).

    Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kekurangan nutrisi adalah alasan ekonomi, pendidikan, status sosial, anatomi fisiologi pencernaan dan status psikologi. Dalam hal ini, pengkajian nutrisi pada penderita hipertensi meliputi pengkajian berat badan dan pola makan (Nurachmah, 2001). Faktor gizi yang sangat berhubungan dengan terjadinya hipertensi melalui beberapa mekanisme. Aterosklerosis merupakan penyebab utama terjadinya hipertensi yang berhubungan dengan diet seseorang, walaupun faktor usia juga berperan, karena pada usia lanjut (usila) pembuluh darah cenderung menjadi kaku dan elastisitasnya berkurang.Pembuluh yang mengalami sklerosis (aterosklerosis), resistensi dinding pembuluh darah tersebut akan meningkat. Hal ini akan memicu jantung untuk meningkatkan denyutnya agar aliran darah dapat mencapai seluruh bagian tubuh.
Menurut C.Linder, masih menjadi perdebatan kontroversi tentang pengaruh faktor diet dan cara hidup tehadap terjadinya aterosklerosis. Namun dari beberapa kecenderungan menyatakan bahwa:
1.    Terjadinya plak (Plaque) aterosklerosis merupakan suatu respon dari cidera pada dinding ateri terhadap kerusakan yang dibentuk oleh lapisan epitel. Plaque tersebut menonjol kearah  lumen dan menyebabkan pengurangan aliran darah dan elastisitas pembuluh darah. Ini akan menyebabkan terbentuknya trombus yang oklusif (pembekuan) dan dapat menyebabkan stroke.
2.    Serat makanan, dan beberapa mikronatrium lainya (vitamin dan mineral) mungkin penting dalam pencegahan jangka panjang atau memperlambat aterosklerosis. Selain itu konsumsi tinggi kolesterol dan lemak yang memicu terjadinya aterosklerosis. Lemak jenuh adalah penentuan utama peningkatan kadar kolesterol, sehigga dianjurkan untuk menurunkan asupan lemak jenuh <10% asupan total energi dengan membatasi asupan makanan kaya asam lemak jenuh (susu tinggi lemak dan produknya, daging berlemak serta daging kelapa). Pada orang dengan kadar kolesterol LDL tinggi atau dengan penyakit kardio vaskuler, lemak jenuhnya harus rendah (<7% total energi).

Faktor-faktor penyebab cenderungnya dinding pembuluh darah antara lain cedera mekanis, panas atau dingin, zat-zat kimia, virus, homosistein dan kolesterol. Pada penderita kelebihan berat badan (obesitas) umumnya memiliki kadar lipid darah yang tinggi, makin besar cadangan lemak tubuhnya, makin tinggi kadar lipid darahnya dan sebaliknya. Selain itu lipid memiliki efek metabolisme yang dapat menyebabkan hipertensi (BKM, 2001). Penelitian Flamingham cit BKM (2001) menunjukkan bahwa orang yang obsitas (kelebihan 20% dari berat badan normal akan mengalami peluang hipertensi 10 kali lebih besar).

2.6       Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku keluarga dalam pemberian diet hipertensi pada lansia
2.6.1     Pengetahuan
Pengetahuan merupakan aspek pokok untuk mengubah perilaku seseorang yang disengaja. Menurut teori Sigmund Freud, salah satu aspek perkembangan manusia adalah perkembangan kognitif. Hal ini merujuk pada proses internal dari produk pikiran manusia yang mengarah pada konsep mengetahui termasuk di dalamnya semua aktifitas mental seperti mengingat, menghubungkan, mengklasifikasi, memberi simbol, mengimajinasi, pemecahan masalah, penalaran persepsi, berkreasi, kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang baru dan hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (Notoadmojo,2010 & Effendi,1998).
Pada penelitian Badriah, Arifin, dan Majmumah (2013) tentang pengetahuan keluarga tentang perawatan hipertensi lansia di wilayah kerja Puskesmas Tamansari menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara perilaku keluarga dengan pengetahuan yaitu keluarga memiliki pengetahuan yang cukup baik sebanyak 22 orang (55%) dari 40 orang responden mampu menjawab kuisioner dengan persentasi nilai pada kategorik cukup baik.




2.6.2    Sikap
Secara definitif sikap berarti suatu keadaan jiwa dan keadaan berfikir yang disiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu obyek yang diorganisasikan melalui pengalaman serta mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung pada praktik / tindakan (Notoatmodjo, 2003). Sikap seseorang adalah predisposisi untuk memberikan tanggapan terhadap rangsangan lingkungan yang dapat memulai dan membimbing tingkah laku orang tersebut. Newcomb (1998) menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku.

2.6.3    Umur
                          Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek psikis dan psikologis (mental). Seiring bertambahnya usia, kita semua semakin beresiko menderita tekanan darah tinggi. Karena semakin kita bertambah tua, elastisitas pembuluh darah kita juga berkurang sehingga cenderung mengalami penyempitan pembuluh darah. Akibatnya, tekanan darah pun meningkat. Namun usia yang semakin tua pun tekanan darah dapat dikendalikan dengan tetap menjaga pola asupan makan, rajin berolahraga dan melakukan pemeriksaan rutin tekanan darah.
Nursalam (2002)  menyatakan  bahwa  seiring bertambahnya usia, seseorang akan terjadi perubahan pada aspek psikis dan psikologis (mental),  tingkat  kematangan  dan kemampuan seseorang dalam berpikir akan lebih baik. Semakin bertambah usia seseorang, pengalaman hidupnya pun akan semakin bertambah.

2.6.4     Jenis Kelamin
              Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras. Pria di dalam populasi umum memiliki angka diastolik tertinggi pada tekanan darahnya dibandingkan dengan wanita pada semua usia dan juga pria memiliki angka prevalensi tertinggi untuk terjadinya hipertensi. Walau pria memiliki insiden tertinggi kasus kardiovaskular pada semua usia, hipertensi pada pria dan wanita dapat menyebabkan stroke, pembesaran ventrikel kiri, dan disfungsi ginjal. Hipertensi terutama mempengaruhi wanita karena faktor resikonya dapat di modifikasi dan hipertensi sering terjadi pada wanita tua (Sanif, 2009).
Jenis  kelamin  berkaitan  dengan  peran  kehidupan  dan  perilaku  yang berbeda  antara  laki-laki  dan  perempuan  dalam  masyarakat.  Dalam  menjaga kesehatan  biasanya  kaum  perempuan  lebih  menjaga  kesehatannya  dibanding laki-laki (Novian, 2013).

2.6.5    Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses ilmiah yang terjadi pada manusia. Menurut Dictionary of Education, pendidikan dapat diartikan suatu proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan dapat diperoleh melalui pendidikan formal dan pendidikan nonformal.
Pendidikan formal mempunyai sumbangan yang sangat berharga bagi perubahan dalam masyarakat, dapat memajukan masyarakat dan pembangunan. Sedangkan pendidikan nonformal dapat diperoleh anggota keluarga dan masyarakat sepanjang hayat baik di lingkungan keluarga maupun dilingkungan masyarakat sekitar. (Soedijarto, 2000).

Tingkat pendidikan seseorang dapat menentukan peminatan kesehatan, tinggi rendahnya permintaan terhadap pelayanan kesehatan dapat ditentukan oleh tinggi rendahnya pendidikan. Indikatornya adalah pendidikan terakhir, berpendidikan rendah tetap memanfaatkan pelayanan kesehatan dan tahu manfaat pelayanan kesehatan. (Syaer, 2010).
Penelitian Badriah, Arifin, dan Majmumah (2013) menunjukkan bahwa mayoritas tingkat pendidikan responden adalah tamatan SD (57,5), akan tetapi tingkat pengetahuannya cukup baik. Hasil tersebut selaras dengan Notoatmodjo (2007) yang mengungkapkan bahwa tingkat pengetahuan tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. Hal ini disebabkan karena pengetahuan tidak hanya didapatkan dari pendidikan formal, akan tetapi dapat pula didapatkan dari pendidikan informal, seperti pengalaman dan pergaulan di masyarakat.

2.6.6   Fasilitas dan sarana kesehatan
    Upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan diwujudkan dalam suatu wadah pelayanan kesehatan yang disebut sarana kesehatan. Upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan pada umumnya dibedakan menjadi tiga, yaitu; sarana pemeliharaan kesehatan primer (primary care) merupakan sarana yang paling dekat dengan masyarakat. Misalnya Puskesmas, poliklinik, dokter praktek swasta dan sebagainya; sarana pemeliharaan kesehatan tingkat dua (secondary care) merupakan sarana pelayanan kesehatan yang menangani kasus yang tidak atau belum ditangani oleh sarana kesehatan primer karena peralatan atau keahlian belum ada, sarana pemeliharaan kesehatan tingkat tiga (tertiary care) merupakan sarana pelayanan kesehatan rujukan bagi kasus-kasus yang tidak ditangani oleh sarana pelayanan kesehatan primer dan pelayanan kesehatan sekunder. Misalnya Rumah sakit propinsi, rumah sakit tipe B dan tipe A (Notoatmodjo, 2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar